Di saat umur 30 tahun, hal ini yang saya lakukan.

Saat tulisan ini ditulis, saya genap berumur 30 tahun yaitu pada 21 Maret 2017. Memasuki usia yang tidak muda lagi, nuansa yang terasa lebih kepada ketakutan dibandingkan dengan kebahagiaan. Usia 30 merupakan gerbang pembuka menuju 1 dekade ke umur 40, yaitu saat manusia mencapai puncak kehidupan tertingginya. Jika salah langkah pada 10 tahun ke depan, bukan tidak mungkin pada usia 40, saya tidak menjadi apa-apa dan berakhir menua tanpa karya. Konon kemampuan memprediksi masa depan yang membuat ras manusia lebih siap melewati proses evolusi dibandingkan hewan. Untuk itulah saya mencoba memprediksi masa depan, karena selain persoalan evolusi tadi, saya juga meyakini bahwa masa depan yang dilewati dengan cara "gimana nanti aja" atau "mengalir aja kayak air" tidak akan banyak memberi perubahan, maka perlu adanya rancangan! Saya sudah melihat banyak orang yang hanya mendiskusikan masa depan lalu mereka kembali kepada kehidupannya dan tidak melakukan apa-apa, kemudian berujung tenggelam tak berjejak. Lalu, hal apa yang paling saya takutkan saat menginjak umur 30 tahun?

Hal yang saya takutkan saat memasuki umur 30 tahun adalah tidak memiliki cita-cita. Kondisi tersebut saya yakini sebagai tampilan luar dari kegagapan cara berpikir untuk membaca kondisi saya sedang di mana dan saya mau ke mana. Sederhana saja, misalnya saat kita tahu bahwa kita sedang berada pada kelas 12 SMA dan kita mau melanjutkan ke perguruan tinggi, maka kita bisa dengan mudah membuat cita-cita; mau kuliah di luar negeri, mau kuliah di UI, ITB, UGM, dengan jurusan A,B,C, dst. Kemampuan membaca kondisi akan menghasilkan cita-cita, atau bisa ditafsirkan sebagai kemampuan memprediksi kondisi akan membuat kita lolos dari evolusi! Lho, memangnya mungkin kita tidak lolos dalam proses evolusi? Saya akan menyegarkan kembali ingatkan kita akan pernyataan tulus nan penuh kebingungan dari CEO Nokia, Stephen Elop, "Kami tidak melakukan kesalahan apapun; tiba-tiba kami kalah dan punah". Ya! Nokia kalah dan punah dengan makna sebenarnya. Kegagalan memprediksi masa depan membuat Nokia harus merelakan kini mereknya dibeli oleh perusahaan Cina. Mungkin muncul di benak kita, "Masa iya perusahaan sebesar Nokia tidak melakukan risk management hingga akhirnya bangkrut?" Kegagalan bukan pada sudah atau belum melakukan prediksi, melainkan pada metode lama yang masih digunakan dan adanya disruption dari lingkungan yang mendadak yaitu kemunculan platform Android yang dapat digunakan sebagai open source berserta fitur turunannya yang gratis.

Sejujurnya, dengan informasi yang banyak dan cepat berubah, saya masih ragu dengan cita-cita saya sendiri. Hingga pada 20 Maret 2017, saya ditawarkan buku yang berjudul "Disruption. Tak ada yang tak bisa diubah sebelum dihadapi. Motivasi saja tidak cukup" karya terbaru di tahun 2017 dari Prof Rhenald Kasali. Bak jawaban dari langit, buku ini mencoba memandu saya untuk menentukan arah cita-cita yang dimulai dari meneguhkan bahwa sekarang adalah eranya disruption. Jadi, jangan lengah jika tak ingin kalah! Konon, prof Rhenald membuat pelatihan khusus yang berlandaskan buku ini melalui konsultan Rumah Perubahan. Mungkin bisa dikatakan buku ini sebagai bahan bakar tambahan untuk memasuki umur 30 tahun. Alhamdulillah.


Melalui tulisan ini, saya ingin mengajak kepada siapa pun para pembaca yang telah memasuki umur 30 tahun untuk memiliki keresahan jika belum memiliki cita-cita. Jangan biarkan diri kita memiliki perasaan biasa saja saat tak memiliki cita-cita. Mudah-mudahan, di umur 40 tahun, saya masih bisa menulis apa yang terjadi pada 10 tahun ke belakang, sehingga hipotesis yang saya sampaikan di sini dapat teruji kebenarannya melalui pengalaman longitudinal. Terima kasih sudah membaca, semoga kita semua mampu menciptakan cita-cita terbaik!

Postingan terkait: